Home

Friday, January 14, 2011

Terus Terbang Hingga Dinyatakan Tak sanggup

Posted by awaluddin jalil | On: , | 0 komentar


Kecintaan Terhadap sesuatu harus dengan konsistensi. Tak bertemu dengannya terasa ada yang kurang dalam hidup ini. Seperti profil berikut ini.

Si Gagak Tua adalah gelar yang diberikan rekan-rekanya sesama penerjun payung. Ia pun bertekad terus terbang hingga divonis tidak sanggup lagi. Sarwidi M adalah penerjun terakhir dalam rangkaian aksi terjun payung memeriahkan upacara HUT Provinsi Kaltim di stadion Sempaja, 13 Januari lalu. Dari 15 penerjun, ia mengemban misi berat. Membawa dan mengibarkan bendera merah putih. Berbeda dengan penerjun lain yang membawa bendera ucapan selamat dari berbagai Kabupaten dan Kota di Kaltim, Sarwidi harus menjaga agar agar bendera tidak menyentuh tanah.

Sesaat menjelang pendaratan, anggota Batalyon 464 Paskhas TNI AU ini terlihat sangat tenang. Maklum, anggota TNI AU berpangkat Pelda ini pemegang catatan penerbangan yang sangat prestisius, 1992 kali melakukan penerjunan. Melihat catatan ini, wajar jika ia sangat berpengalaman dan menjadi contoh sesama penerjun lain.

Karena membawa bendera merah putih, landing yang dilakukannya tidak sempurna. Ia terlihat berupaya agar bendera tetap berkibar ke arah belakang. Posisi berndera yang bergantung di bawah membuatnya harus senantiasa menjaga bendera tetap berkibar ke belakang, sebab jika gagal bendera tersebut bisa terinjak olehnya. Sesaat menjelang pendaratan, ia terlihat berupaya menjaga posisi bendera, sayang ia tidak mempersiapkan diri untuk mendarat hingga membuatnya sedikit tersungkur. Bendera merah putih sendiri tidak menyentuh tanah karena langsung disambut penerjun lain yang lebih dulu mendarat.

Pelda Sarwidi M pertama kali melakukan penerjunan pada tahun 1990. Selama itu ia terus berlatih hingga mencapai angka penerjunan yang sangat tinggi. Ia mengaku, sangat ketagihan dengan aksi berbahaya itu. Ditanya soal rasa takut, Sarwidi juga mengaku memiliki rasa takut, hanya saja terus ia lawan.

”Sebagai seorang manusia saya juga memiliki rasa takut, tapi rasa takut itu terus dilawan. Saya serahkan semuanya sama yang di atas. Kalau memang sudah waktunya, kita tidak mungkin melawan. Dengan cara seperti itu, rasa takut bisa dikendalikan,” ujarnya.

Mengenai pengalamannya selama penerjunan, sejauh ini tidak pernah mengalami peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Masalah yang sering terjadi adalah trouble parasut yang tidak mau mengembang. Suatu ketika dalam sebuah penerjunan, payung utama Sarwidi macet, tidak berkembang. Beruntung dalam standar operasi penerbang harus membawa dua parasut untuk mengantisipasi kemacetan parasut pertama.

”Begitu macet, parasut utama langsung saya buang. Parasut cadangan saya pakai hingga landing dengan selamat,” ujar Pria kelahiran 12 Desember 1958 ini.

Setiap penerjunan, Sarwidi memang mengaku selalu was-was. Tidak hanya soal parasut yang tidak mengembang, tapi juga soal landing. Salah mendarat juga berakibat fatal. Sejauh ini ia belum pernah mengalami masalah saat landing, kalaupun ada paling tidak parah.

”Biasanya hanya keseleo kaki, soalnya landing sering tidak sempurna,” katanya lagi.

Satu catatan lagi saat penerjunan kemarin, Sarwidi tidak menggunakan pelindung kepala. Hal ini membuktikan pengalamannya dalam penerjunan. Ia terlihat sangat percaya diri dan yakin dengan alat yang digunakannya.

Usai melakukan penerjunan, ia bersama rekannya yang lain memberikan salam komando kepada Gubernur Kaltim beserta pejabat dan unsur Muspida yang lain. Tidak hanya itu, sebagai penerjun senior, ia menyerahkan bendera merah putih yang dibawanya kepada Gubernur Kaltim.

Sarwidi sejak kecil memang tidak berniat menjadi tentara apalagi penerjun. Ia hanya berniat menjadi seorang pegawai. Usai meluluskan pendidikannya di SLTA, ia kemudian merantau dari tanah kelahirannya hingga akhirnya mendaftar menjadi tentara pada tahun 1979. Pada tahun 1990 ia melakukan penerjunan pertama kali di Bandung.

Pria beristrikan Emi Mulyani ini bertekad tidak akan berhenti menjadi penerjun. Baginya terjun payung adalah hidupnya. Kini ia dikaruniai dua orang anak putra dan putri. ”Saya terlambat menikah, mungkin karena asyik jadi penerjun. Saya menikah diusia 41 tahun,” ujarnya seraya tersenyum.

Gagak tua adalah gelar yang diberikan kepadanya. ”Mungkin karena hitam saya dikasih gelar gagak. Tua karena mungkin saya memang sudah tua,” katanya.

Ia kini telah memasuki masa pensiun karena usianya sudah lebih dari 53 tahun. Meski demikian ia bertekad untuk terus terjun payung. Pada usia pensiun, ia lebih bergelut menjadi atlit terjun payung. Beberapa event kejuaran sering ia ikuti baik nasional maupun internasional. Terakhir kejuaraan yang diikutinya adalah kejuaraan tingkat Asia-Ocenia di Solo tahun lalu.

”Saya tidak akan berhenti menjadi penerjun hingga dinyatakan tidak sanggup lagi,” tegasnya.

No comments: