Home

Friday, May 13, 2011

Manginjak Garis Tengah Bumi

Posted by awaluddin jalil | On: , | 0 komentar




Berkunjung ke tempat yang menunjukkan letak geografis bumi membangun keinginan untuk terus menggali ilmu pengetahuan soal peta bumi, begitu pula saat berkunjung ke Tugu Katulistiwa.

Tugu Katulistiwa ini terletak di Jalan Poros Bontang-Samarinda, Desa Santan Ulu, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Tugu ini sebenarnya sudah cukup lama didirikan, persisnya tanggal 3 Juli 1993 saat Panglima ABRI masih dijabat oleh Jenderal Feisal Tanjung. Awal berdiri, seluruh bangunan terbuat dari kayu. Setelah berjalannya waktu, tugu ini mulai keropos. Selain kotor karena tidak terawat, bangunan ini jarang dikunjungi. Kurangnya kunjungan dimaklumi, sebab lokasi tugu tidak terlihat dari pinggir jalan. Meski hanya berjarak 200 meter, namun karena tertutup pohon, banyak orang tak mengetahui jika ada Tugu Katulistiwa.

Setelah dilakukan renovasi, perbaikan dilakukan secara menyeluruh. Bentuk asli bangunan dipertahankan. Namun kali ini dibuat permanen. Setelah selesai renovasi dengan biaya bantuan dari PT Kaltim Methanol Industri, tugu ini dibuka untuk umum.
Bangunan ini berbentuk lingkaran dan memiliki tinggi kurang lebih 30 meter. Di puncak bangunan dipasang arah mata angin dan posisi persis lokasi ini berdasar garis bumi, 00o 00’ 00” dan 117o 21’ 47” Bujur Timur. Pengunjuk dapat naik ke atas puncak tugu dengan tangga melingkar terbuat dari besi yang berada di tengah bangunan..
Dari puncak bangunan kita bisa melihat suasana Desa Santan Ulu. Dari puncak tugu kita juga bisa melihat searah garis lurus mengikuti garis katulistiwa, ke timur maupun ke barat. Pada lantai dasar, pengunjung dapat melihat sejumlah foto Tugu Katulistiwa di sejumlah negara yang dilintasi garis katulistiwa. Selain itu, terpasang foto bangunan tugu lama, proses renovasi dan peresmian bangunan baru pada 24 Maret 2011 lalu.
Pada tugu peresmian renovasi, Bupati Kukar Rita Widyasari tampak membubuhkan tanda tangan bersama Danrem 091 Aji Surya Natakesuma Kolonel Inf Aries Martanto. Presiden Komisaris PT Kaltim Methanol Industri, Ir Wardijasa dan Direktur Utama Toshiya Tanuguchi. 
Selain merenovasi bangunan utama, jalan menuju tugu juga dibangun dengan baik terbuat dari semen.
Di lokasi ini juga disediakan tempat parkir sehingga menambah kenyamanan pengunjung. Persis di samping tempat parkir, digambarkan peta bumi dengan garis katulistiwa berwarna merah. Garis ini mempertegas kalau itu adalah garis tengah bumi sesungguhnya.
Selain di tempat parkir, di jalan raya yang menghubungkan Samarinda dan Bontang juga digambarkan peta yang sama. Garis merah juga dibuat membelah peta tersebut mempertegas garis tengah bumi. Jika kita melintas di jalan tersebut, kita akan sadar bahwa telah melewati garis tengah bumi menuju belahan bumi yang lain.
Sebelum direnovasi, banyak orang tidak tahu kalau di lokasi ini ada tugu katulistiwa. Berkat gambar peta bumi dan garis merah yang membelahnya digambar di jalan, banyak pengendara yang lewat mengetahui jika ada tugu katulistiwa di tempat ini. Papan nama dari dua arah juga mempertegas lokasi tugu ini.
Meski baru saja diresmikan setelah direnovasi, banyak orang yang sudah berkunjung. Paling tidak banyak pengendara yang singgah beristirahat di tempat ini. Tugu ini terbuka untuk umum tanpa retribusi alias gratis. Pada hari tertentu yang ramai pengunjung seperti hari libur, bangunan utama akan dibuka. Pada hari lainnya bangunan ini terkunci rapat. 
Pemegang kunci adalah warga sekitar sehingga tidak sulit bagi kita untuk masuk. Apalagi jika datang dengan rombongan yang banyak, tentu akan dibuka.
Di lokasi ini ada satu kekurangan, tidak ada tempat untuk bersantai. Pedagang makanan pun tak ada. Ini yang banyak disayangkan pengunjung. Di sekitar lokasi tugu, juga tidak ada toko menjual makanan dan minuman. “Paling tidak ada tempat bersantai sambil makan maupun minum. Lebih bagus lagi kalau di sini ada semacam café,” ujar Abdi, pengunjung dari Bontang.
Seperti tempat wisata pada umumnya, tempat bersantai adalah lokasi yang paling dicari. Demi meningkatkan jumlah kunjungan, pengelola Tugu Katulistiwa sebaiknya menyediakan tempat bersantai. Selain bisa menikmati berada di tengah garis katulistiwa, suasana hutan yang asri juga membuat tempat ini tambah mengasyikkan.
Selanjutnya yang paling penting adalah bagaimana merawat tugu ini dengan sebaik mungkin. Akan sangat sia-sia jika hanya dalam beberapa waktu ke depan bangunan ini rusak. Tugu ini juga bisa menjadi taman pendidikan atau wisata pendidikan menambah wawasan Geografi bagi siapa saja. Aksi vandalisme juga harus dicegah karena dapat merusak keindahannya. 
Seperti tempat wisata pada umumnya yang banyak dijadikan tempat mojok pasangan muda-mudi, bangunan ini dan lokasi disekitarnya harus dicegah dari aksi mesum. Biarkan tempat ini menampilkan aura pendidikannya dengan baik. 


Wednesday, April 20, 2011

Tempat Istirahat Di Atas Gunung

Posted by awaluddin jalil | On: , | 0 komentar

Air Terjun Gunung Rambutan adalah tempat istirahat favorit bagi pengguna jalan trans Kalimantan yang menghubungkan Kaltim-Kalsel.

Bagi anda pengguna jalan darat yang ingin bepergian ke Kalimantan Selatan, tentu tidak asing lagi dengan tempat ini. Selain nyaman sebagai tempat istirahat, air terjun yang ada di gunung tersebut dapat mengurangi rasa lelah selama perjalanan. Atau setidaknya dapat menjadi pemandangan menarik jika sempat melihatnya dari dalam kendaraan.

Air terjun ini memang tidak deras dan volume air juga tidak banyak. Untuk air yang terjun juga tidak tinggi, paling tinggi hanya hampir dua meter. Namun segarnya air pegunungan membuat kesegaran tersendiri bagi yang ingin singgah. Air mengalir turun dari puncak bukit setinggi hampir 50 meter. Mendekati bagian bawah, terbentuk air terjun yang tidak tinggi. Pada bagian bawah, warga secara swadaya membuat kolam kecil sebelum air terus turun ke arah lembah.

Air yang turun volumenya berubah sewaktu-waktu, tergantung curah hujan pada hari itu. Pada musim kemarau kadang tidak ada air sama sekali. Namun inilah yang menjadi ciri khas kebanyakan air terjun di Kalimantan. Curah hujan sangat mempengaruhi volume air terjun.

Posisinya yang persis berada di pinggir jalan, membuatnya mudah terlihat. Banyak pengendara roda dua yang tak tahan hati untuk tidak singgah. Pengendara roda empat, kebanyakan kendaraan pribadi, juga tidak ketinggalan untuk singgah.

Selain itu, sejumlah warung makan juga tampak berjejer melengkapi lokasi istirahat yang nyaman. Tak banyak memang tempat-tempat seperti ini. Selain menawarkan keindahan lokasi dengan pemandangannya, juga tersedia tempat makan untuk melepas rasa lapar.

Sayangnya, jalan di sepanjang Gunung Rambutan terbilang sempit. Untuk tikungan saja, sebuah mobil harus mengalah terlebih dahulu untuk memberikan jalan sebelum bisa melintas. Tak heran jika banyak cerita tragedi kecelakaan terjadi di tempat ini.

Di lokasi air terjun sendiri, posisinya persis berada di tikungan. Ini juga salah satu alasan yang membuat sejumlah kendaraan roda empat atau lebih mengurungkan niat untuk singgah. Sulit dapat tempat parkir.

Kebanyakan yang singgah adalah pengendara roda dua. Mereka memang sengaja singgah karena dilokasi ini selain bisa beristirahat makan, juga bisa melepas penat dengan menikmati air terjun yang sejuk. Meski tidak berenang, warga di sekitar lokasi menyediakan kamar mandi yang cukup banyak. Tidak hanya itu, sebuah musholla juga tersedia berkat swadaya masyarakat.

”Saya sering singgah, kalau sangat penat, saya biasanya suka mandi. Apalagi perjalanan dari Kalsesl cukup jauh, sementara Samarinda masih beberapa jam lagi. Lumayan buat hilangkan peluh,” ujar Rafi, warga Barabai, Kalsel.

Rafi yang menggunakan sepeda motor memang menjadikan lokasi ini sebagai tempat favorit untuk disinggahi. Ia juga mengaku, kawan-kawannya yang lain sesama bikers dari Kalsel sangat suka singgah di lokasi ini.

Dari Gunung Rambutan yang cukup tinggi juga tersaji pemandangan yang indah. Hamparan hijau pepohonan membuat mata lelah selama perjalan langsung takjub dan bisa sedikit menyegarkan.

Jika sesekali anda melakukan perjalanan dari Kaltim ke Kalsel atau sebaliknya melalui jalur darat, jangan lewatkan untuk singgah sejenak. Tempat yang tepat untuk menghilangkan kepenatan selama perjalanan.

Friday, January 14, 2011

Terus Terbang Hingga Dinyatakan Tak sanggup

Posted by awaluddin jalil | On: , | 0 komentar


Kecintaan Terhadap sesuatu harus dengan konsistensi. Tak bertemu dengannya terasa ada yang kurang dalam hidup ini. Seperti profil berikut ini.

Si Gagak Tua adalah gelar yang diberikan rekan-rekanya sesama penerjun payung. Ia pun bertekad terus terbang hingga divonis tidak sanggup lagi. Sarwidi M adalah penerjun terakhir dalam rangkaian aksi terjun payung memeriahkan upacara HUT Provinsi Kaltim di stadion Sempaja, 13 Januari lalu. Dari 15 penerjun, ia mengemban misi berat. Membawa dan mengibarkan bendera merah putih. Berbeda dengan penerjun lain yang membawa bendera ucapan selamat dari berbagai Kabupaten dan Kota di Kaltim, Sarwidi harus menjaga agar agar bendera tidak menyentuh tanah.

Sesaat menjelang pendaratan, anggota Batalyon 464 Paskhas TNI AU ini terlihat sangat tenang. Maklum, anggota TNI AU berpangkat Pelda ini pemegang catatan penerbangan yang sangat prestisius, 1992 kali melakukan penerjunan. Melihat catatan ini, wajar jika ia sangat berpengalaman dan menjadi contoh sesama penerjun lain.

Karena membawa bendera merah putih, landing yang dilakukannya tidak sempurna. Ia terlihat berupaya agar bendera tetap berkibar ke arah belakang. Posisi berndera yang bergantung di bawah membuatnya harus senantiasa menjaga bendera tetap berkibar ke belakang, sebab jika gagal bendera tersebut bisa terinjak olehnya. Sesaat menjelang pendaratan, ia terlihat berupaya menjaga posisi bendera, sayang ia tidak mempersiapkan diri untuk mendarat hingga membuatnya sedikit tersungkur. Bendera merah putih sendiri tidak menyentuh tanah karena langsung disambut penerjun lain yang lebih dulu mendarat.

Pelda Sarwidi M pertama kali melakukan penerjunan pada tahun 1990. Selama itu ia terus berlatih hingga mencapai angka penerjunan yang sangat tinggi. Ia mengaku, sangat ketagihan dengan aksi berbahaya itu. Ditanya soal rasa takut, Sarwidi juga mengaku memiliki rasa takut, hanya saja terus ia lawan.

”Sebagai seorang manusia saya juga memiliki rasa takut, tapi rasa takut itu terus dilawan. Saya serahkan semuanya sama yang di atas. Kalau memang sudah waktunya, kita tidak mungkin melawan. Dengan cara seperti itu, rasa takut bisa dikendalikan,” ujarnya.

Mengenai pengalamannya selama penerjunan, sejauh ini tidak pernah mengalami peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Masalah yang sering terjadi adalah trouble parasut yang tidak mau mengembang. Suatu ketika dalam sebuah penerjunan, payung utama Sarwidi macet, tidak berkembang. Beruntung dalam standar operasi penerbang harus membawa dua parasut untuk mengantisipasi kemacetan parasut pertama.

”Begitu macet, parasut utama langsung saya buang. Parasut cadangan saya pakai hingga landing dengan selamat,” ujar Pria kelahiran 12 Desember 1958 ini.

Setiap penerjunan, Sarwidi memang mengaku selalu was-was. Tidak hanya soal parasut yang tidak mengembang, tapi juga soal landing. Salah mendarat juga berakibat fatal. Sejauh ini ia belum pernah mengalami masalah saat landing, kalaupun ada paling tidak parah.

”Biasanya hanya keseleo kaki, soalnya landing sering tidak sempurna,” katanya lagi.

Satu catatan lagi saat penerjunan kemarin, Sarwidi tidak menggunakan pelindung kepala. Hal ini membuktikan pengalamannya dalam penerjunan. Ia terlihat sangat percaya diri dan yakin dengan alat yang digunakannya.

Usai melakukan penerjunan, ia bersama rekannya yang lain memberikan salam komando kepada Gubernur Kaltim beserta pejabat dan unsur Muspida yang lain. Tidak hanya itu, sebagai penerjun senior, ia menyerahkan bendera merah putih yang dibawanya kepada Gubernur Kaltim.

Sarwidi sejak kecil memang tidak berniat menjadi tentara apalagi penerjun. Ia hanya berniat menjadi seorang pegawai. Usai meluluskan pendidikannya di SLTA, ia kemudian merantau dari tanah kelahirannya hingga akhirnya mendaftar menjadi tentara pada tahun 1979. Pada tahun 1990 ia melakukan penerjunan pertama kali di Bandung.

Pria beristrikan Emi Mulyani ini bertekad tidak akan berhenti menjadi penerjun. Baginya terjun payung adalah hidupnya. Kini ia dikaruniai dua orang anak putra dan putri. ”Saya terlambat menikah, mungkin karena asyik jadi penerjun. Saya menikah diusia 41 tahun,” ujarnya seraya tersenyum.

Gagak tua adalah gelar yang diberikan kepadanya. ”Mungkin karena hitam saya dikasih gelar gagak. Tua karena mungkin saya memang sudah tua,” katanya.

Ia kini telah memasuki masa pensiun karena usianya sudah lebih dari 53 tahun. Meski demikian ia bertekad untuk terus terjun payung. Pada usia pensiun, ia lebih bergelut menjadi atlit terjun payung. Beberapa event kejuaran sering ia ikuti baik nasional maupun internasional. Terakhir kejuaraan yang diikutinya adalah kejuaraan tingkat Asia-Ocenia di Solo tahun lalu.

”Saya tidak akan berhenti menjadi penerjun hingga dinyatakan tidak sanggup lagi,” tegasnya.

Thursday, June 3, 2010

Sore itu bukan penutup atau pulang, melainkan kembali bersiap...

Posted by awaluddin jalil | On: , | 0 komentar

Sore hari bagi manusia bisa beragam jika digambarkan. Seorang fotografer pencari sunset akan sangat memanfaatkan moment menjelang matahari turun sebagai bidikan kameranya. Seorang petani, buruh dan pekerja lainnya barangkali menganggap sore saatnya untuk pulang, bersitirahat dan berkumpul bersama keluarga. Seorang nelayan, malam menjelang adalah saatnya untuk bekerja.
Tapi bagi saya, sore sebenarnya tidak memiliki makna yang berlebihan. Hanya penanda jika hari telah berakhir, aktifitas segera dihentikan, dan sesegera mungkin pulang menemui orang yang dicintai untuk sekedar melihat senyumannya.
Tapi ternyata, sore itu rupanya adalah awal, bukan pagi -ini pandanganku lho ya-. Kenapa begitu, karena sore hari adalah waktu untuk mengevaluasi dan menilai hasil hari ini untuk melanjutkan di esok hari. Kenapa bukan saat malam, karena malam tepat untuk beristirahat. Pagi? tentu untuk mulai menjalankan hasil yang dievaluasi sore kemarin.
Maka indahnya sore, memandang sinar emas di sisi barat langit, dan melihat gelap mulai tampil, saatnya mempersiapkan diri. Melihat sejenak ke belakang apa yang telah kita lakukan dan bersiap untuk memperbaikinya keesokan hari. Sore juga baik untuk menyusun rencana, memetakan masalah, dan bersiap menghadapi segala tantangan dengan penuh keyakinan sebelum mata terpejam, tertidur dan terbangun dengan siaga dalam kondisi apapun.

Thursday, April 16, 2009

Berkeliling Samarinda Dari Udara Menggunakan Helikopter

Posted by awaluddin jalil | On: , | 1 komentar



Melihat Kota Samarinda memang memberikan pandangan yang jauh berbeda tentang kota ini ketika melihatnya dari udara, apalagi berkesempatan untuk melihatnya lebih lama. Siapa saja tentu akan betah berlama-lama di udara. Eksotisme sebuah kota terlihat jelas dengan berbagai elemen-elemen pendukung seperti sungai, bangunan dan bukit disekelilingnya. Bahkan Sungai Mahakam terkesan perkasa dan meliuk indah di tengah kehidupan kota yang metropolis.

Selasa (14/4) lalu, Saya berkesempatan ikut dengan Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Kota Besar (Kasat Lantas Poltabes) Samarinda Komisaris Polisi Nugrah Trihadi Sik terbang dengan sebuah helikopter untuk memantau Kota Samarinda dari udara. Tujuan pemantauan ini adalah untuk melihat dan memotret beberapa titik jalan yang sering terjadi kemacetan serta digunakan untuk balapan liar. Helikopter yang digunakan adalah milik Polisi Udara Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim yang kebetulan sedang berada di Samarinda mengantar Kapolda Kaltim Irjen Pol Andi Masmiyat untuk menghadiri sebuah acara.

Helikopter ini akan membawa tiga orang, Nugrah Trihadi, Jasmin Jafar yang merupakan kontributor Trans TV, tugasnya mengambil video dan seorang fotografer untuk mengambil gambar. Saya kebetulan mendapat tugas menjadi fotografer.

Sebelum terbang, Pilot Iptu Indra Pnb dan co-pilot Iptu Eko Budi Santoso Pnb melakukan pertemuan. Pertemuan ini mengatur tujuan penerbangan dan menentukan posisi-posisi untuk mengambil gambar. Usai pertemuan, Pilot memerintahkan seorang teknisi untuk mencabut pintu depan dan mengikat pintu belakang yang bermodel pintu geser agar tidak tertutup. Jadinya helicopter tersebut terbang tanpa pintu baik kanan maupun kiri. Hal ini dilakukan agar saat pengambilan gambar tidak mengalami gangguan.

Sekitar pukul 11.00, pesawat mulai take off meninggalkan bandara temindung. Saat terbang meninggalkan bandara, helicopter tetap mengikuti rute seperti pesawat pada umumnya saat keluar dari runway. Tidak serta merta langsung terbang, ada aturan yang harus diikuti saat meninggalkan bandara. Usai mencapai ketinggian yang ditentukan, pilot mulai mengarahkan pesawat ke beberapa titik pengambilan gambar yang telah ditentukan. ketinggian pesawat saat terbang mencapai 1500 kaki atau sekitar 450 meter. Ketinggian ini persis dibawah ketinggian awan yang ada di Kota Samarinda.

Begitu sampai diatas, perasaan kagum, takut dan haru berbaur menjadi satu. beberapa saat tugas mengambil gambar terlupakan akibat persaan yang berkecamuk tadi. Untung saja ada yang mengingatkan, jika tidak tugas utama sebagai fotografer tentu terabaikan.

Saya mendapat tempat duduk di pintu bagian kanan, sedangkan pengambil video berada di tengah dan Nugrah Trihadi berada di sisi kiri.

Pada titik tertentu helicopter miring beberapa derajat sambil berputar beberapa kali. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada pengambil gambar untuk focus kepada satu titik pengambilan gambar. Jika dirasa cukup, helicopter akan melakukan hal yang sama di titik lain. Sedikitnya ada belasan titik yang menjadi sasaran pemotretan. Sekitar pukul 12.00, pesawat kembali mendarat dengan selamat di Bandara Temindung.

Catatan Swara Kaltim dari atas udara, Samarinda terlihat begitu indah dan tidak tampak saat melihat dari darat. Liukan Sungai Mahakam terlihat begitu mempesona membelah Kota Samarinda. Ada beberapa pengamatan yang memang harus dijadikan evaluasi oleh Pemerintah setempat. Seperti Bandara Temindung yang berada di tengah padatnya perumahan penduduk. Pembangunan bandara baru memang harus disegerakan, agar Bandara Temindung tidak terlihat mengancam bagi warga Kota Samarinda.

Kesan padat Kota Samarinda juga sangat terasa jika dilihat dari udara, terutama di daerah anak Sungai Mahakam. Rencana relokasi memang perlus segera dituntaskan agar kesan kumuh segera hilang. Namun di luar semua kekurangan yang dimiliki, Kota Samarinda sebenarnya sangat indah. Kota Samarinda bisa dikatakan anugerah bagi kita semua, tinggal bagaimana kita menjaganya.

Friday, October 10, 2008

Muhammadiyah dan Laskar Pelangi

Posted by awaluddin jalil | On: , | 3 komentar



Film laskar pelangi bisa di katakan filmnya Muhammadiyah. Sepertinya begitu, Film Muhammadiyah pertama yang masuk layar lebar. Film tersebut memang meceritakan Ikal, Lintang serta Bu Muslimah. Namun secara tidak langsung juga menggambarkan perjuangan Muhammadiyah dan orang-orang yang ada di dalamnya. Perjuangan dengan penuh keterbatasan untuk mencerdaskan anak bangsa tanpa harus memaksakan muridnya untuk masuk Muhammadiyah. Beberapa dialog juga tampak membesarkan Muhammadiyah, "ini adalah sekolah islam pertama, dan satu-satunya yang ada di belitong yang diperuntukkan bagi siapa saja", atau ketika pak zul protes kepada salah satu juri cerdas cermat yang mencurigai Lintang berbuat curang, "SD Muhammadiyah adalah sekolah terhormat".

Bagi saya, film ini begitu menggugah. Jauh lebih dahsyat ketimbang film ayat-ayat cinta. Film ayat-ayat cinta, mengajak kita lebih banyak berkhayal tentang pasangan hidup ideal dan perfect seperti Fahri -bagi wanita- dan Aisya -untuk yang pria-. Namun laskar pelangi mengajak kita untuk menyelami sebuah kehidupan tentang orang yang menjalani hidup ini dengan keras. Di tengah keterbatasan ekonomi dan akses untuk mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas, hadir sekolah yang hampir tutup, hampir roboh, sering di jadikan kandang kambing, dan basah jika hujan karena bocor. Di sekolah itu, anak-anak membangun cita-cita, membangun mimpi demi masa depannya. Walau penuh dengan keterbatasan, mimpi mereka tak pernah hilang. pun ketika harus kehilangan kepala sekolah yang penuh semangat, Bu Mus yang berkabung, mereka tetap teguh mengejar mimpi. Karena hidup memang berawal dari mimpi, demikian kata bondan prakoso.

melihat realitas sekarang, kita memang terkungkung dalam kubangan kapitalisme. tak ada lagi sekolah murah berkualitas. semuanya di ukur dengan uang. Perguruan tinggi berlomba-lomba menjadi BHMN, Banyak berdiri sekolah terpadu, yang bisa di pastikan tidak bisa terjangkau oleh mereka yang miskin dan terpinggirkan. Anehnya Muhammadiyah juga mulai ikut-ikutan bikin sekolah mahal, jauh dari cerita masa lalunya yang begitu cemerlang dalam membangun bangsa ini. Uang masuk hampir 5 juta rupiah, uang SPP yang tinggi, belum uang les, kursus, dan ekstar kurikuler. keberpihakan itu mungkin telah berubah.

sebuah cerita dari pulau belitong, semoga menggugah kita semua untuk lebih peduli dengan kaum marjinal yang kian hari terus terpinggirkan oleh proyek kapitalisme. Semoga...

Terakhir, Film ini membuatku bangga menjadi anggota Muhammadiyah. Hati kecil saya langsung menolak, dan saya pun langsung meralat, maksudnya bangga dengan para founding father pesyarikatan ini. Serta bangga kepada mereka yang hingga hari ini masih menjalankan apa yang di ajarkan Ahmad dahlan. Apa itu? Tentang surah Al-ma’un…

catatan: koleksi foto di ambil dari http://www.laskarpelangithemovie.com/

Thursday, July 24, 2008

HAMKA, sosok yang mengajarkan kesederhanaan

Posted by awaluddin jalil | On: , | 0 komentar

“Saya masih teringat dalam satu kongres, kaki saudara Udin terletak diatas dada Mr. Kasman, dengan tidak sengaja lantaran kepayahan sesudah rapat. Dan kepala saudara Sudirman (almarhum Jenderal Sudirman), satu bantal dengan kepala saudara Muljadi Djojomartono. Dan saudara Tjitrosuwarno gelisah mendengar keruh (dengkur) saudara H. Abdullah dari Makassar.”(Tulisan Hamka yang dimuat di Muhammadiyah Nomor 31 Januari 1953)

Cerita ini, ketika saya baca langsung menyentuh relung hati saya yang paling dalam. Otak saya berfikir dan menggambarkan kondisi saat itu yang sangat jelas di ceritakan oleh Buya Hamka. Hati saya saya pun langsung rindu untuk mengalaminya dan ingin berada dalamnya. Suasana dengan penuh kesederhanaan dan penuh semangat dalam bermuhammadiyah. Otak saya terus saja berfikir, mungkin saking sederhananya fenomena itu bisa terjadi. Ruang yang sempit, ini tergambar jelas dengan adanya kaki yang naik ke dada Mr. Kasman. Serta minimnya fasilitas seperti kurangnya bantal sehingga harus satu bantal dua orang.
Hari ini, menjelang satu abad Muhammadiyah, cerita itu sepertinya hanya akan menjadi kenangan. Cerita yang suatu saat akan menjadi dongeng penghias tidur anak cucu kita kelak. Megapa? Karena memang Muhammadiyah telah berubah. Perubahan itu ditandai dengan adanya gejala elitisme gerakan di pengurus Muhammadiyah. Banyak kita saksikan pimpinan Muhammadiyah yang membentuk dirinya menjadi kaum elit, atau membangun citra elit dalam dirinya. Sehingga mereka yang berada pada tataran structural paling bawah dalam persyarikatan memandangnya seolah sangat tinggi.

Harus kita akui bahwa Muhammadiyah memang megah dari luar, tapi keropos dari dalam. Kekurangan kader merupakan contoh real yang suatu saat membuat Muhammadiyah hanya tinggal nama. Anehnya gejala ini seolah hanya sebuah cerita tanpa penyelesaian yang serius. Melihat Muhammadiyah yang akan datang, lihatlah kader Muhammadiyah hari ini, sayangnya kader yang disiapkan itu kurang, malah tidak ada. Perhatian terhadap pembinaan kader ini yang mesti dan segera menjadi prioritas gerakan kita.

Menjelang satu abad memang kita mesti berbenah, belajar dari sejarah adalah salah satu jalannya. Ketika saya membayangkan menjadi bagian dalam cerita Buya Hamka tadi, maka saya akan memilih tidur satu bantal dengan Jenderal sudirman yang menjadi idola saya sejak kecil. Atau dengan Mr. Kasman agar seliruh isi otaknya yang penuh muatan ilmu bisa saya pindahkan ke kepala saya.

Saya juga sering melihat para pimpinan Muhammadiyah seolah menjadi kaum elit, susah ditemuin, orientasi gerakan yang tidak lahir dari semangat para founding father. Belum lagi pada tataran pimpinan amal usaha. Saya sering mengurut dada karena banyaknya pimpinan amal usaha yang membuat dirinya bak raja. Tidak nurut dengan pimpinan persyarikatan, bahkan ada yang berani melawan. Sungguh kehidupan bermuhammadiyah yang membuat semangat saya runtuh seketika.

Jujur, secara pribadi rindu dengan sosok seperti Pak AR. Sosok yang sangat zuhud, memandang kehidupan dengan begitu sederhana sehingga kehidupan setenang air yang mengalir. Potret kehidupan seperti yang di gambarkan Buya memang sudah tidak ada, alasannya mungkin karena zaman telah maju, fasilitas sudah lengkap dan sayang jika tidak digunakan. Namun menjadi diri yang sederhana dan bersahaja ditengah pusaran globalisasi merupakan mutiara di tengah gubangan lumpur. Saatnya memang kita kembali kepada ruh perjuangan yang sudah ditanamkan sejak dulu. Orientasi profit harus kita buang jauh-jauh, karena Muhammadiyah lahir ditengah kesulitan masyarakat akiibat penindasan penjajah. Orientasi social dan dakwah mesti menjadi priorotas utama. Mudah-mudahan sekolah Muhammadiyah yang mahal hanya cerita dongeng belaka, dan sekolah murah dan berkualitas betul-betul menjadi realita dan bukan dongeng.

Di akhir tulisan Hamka menyebutkan, “segala kesulitan telah pernah kita atasi, dengan sikap diam, tenang dan maaf. Ketahuilah bahwa Indonesia ini masih banyak “adik-adik” yang harus kita didik dengan keteguhan hati. Sjiblih berkata, ‘Teladanlah kayu di rimba. Dilempar orang dia dengan batu. Lalu dibalasnya dengan buah. Sebanyak batu naik, sebanyak buah turun.”